AKULTURASI BATIK CIREBON
SEBAGAI suatu karya seni, megamendung identik dan bahkan menjadi ikon batik pesisiran Cirebon. Batik ini memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di daerah-daerah pesisir penghasil batik lain di utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.
Kekhasan megamendung atau “awan-awanan” tidak saja pada motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan merah, tetapi juga pada nilai-nilai filosofi yang terkandung pada motifnya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan sejarah lahirnya batik secara keseluruhan di Cirebon.
Belum jelas, kapan batik menjadi tradisi di daerah pesisir pantura. Dari beberapa penuturan, sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16.
Budayawan dan pemerhati batik, Made Casta menuturkan, sejarah batik dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.
Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Djati merupakan ’pintu gerbang’ masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi pusat kosmik sehingga ide atau gagasan, pernik-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon. “Pernik-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Djati, menjadi inspirasi seniman termasuk pebatik,” tutur perupa Made Casta. Keramik Cina, porselen, atau kain sutra dari zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif, menginspirasi seniman Cirebon. Gambar simbol kebudayaan Cina, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon. Para pebatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya motif megamendung.
“Tentu dengan sentuhan khas Cirebon, sehingga tidak sama persis. Pada megamendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan megamandung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon,” tutur Made Casta.
H. Komarudin Kudiya, S.I.P., M.Ds., Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) mengemukakan, persentuhan budaya Cina dengan seniman batik Cirebon melahirkan motif batik baru khas Cirebon.
Motif Cina hanya sebagai inspirasi. Seniman batik cirebon kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam. Dari situ, lahirlah motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, seperti
Paksi Naga Liman,
Wadasan,
Banji,
Patran Keris,
Singa Payung,
Singa Barong,
Banjar Balong,
Ayam Alas,
dan yang paling dikenal ialah
Megamendung.
Paksi Naga Liman,
Wadasan,
Banji,
Patran Keris,
Singa Payung,
Singa Barong,
Banjar Balong,
Ayam Alas,
dan yang paling dikenal ialah
Megamendung.
“Meski megamendung terpengaruhi Cina, dalam penuangannya secara fundamental berbeda. Megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya simbol perjalanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga sampai mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Illahi,” tutur pemilik showroom “Batik Komar” di Jln. Sumbawa, Kota Bandung itu.
**
SEJARAH batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu, kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dan nuansa Islam mewarnai. Disitulah terletak kekhasannya.
Pengaruh tarekat terlihat pada Paksi Naga Lima. Motif itu merupakan simbol berisi pesan keagamaan yang diyakini tarekat itu. Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman itu gajah. Motif tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan keburukan dalam mencapai kesempurnaan.
“Motif itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina, dan India. Para pengikut tarekat menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya seni termasuk pada motif-motif batik,” tutur Made Casta.
Pada megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan. Komarudin mengemukakan, bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di balik motif itu.
Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.
Oleh karena itu, sampai sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. “Eyang dari eyang saya sudah mengenal batik. Sampai sekarang turun-temurun. Awalnya memang Trusmi, sekarang dengan perkembangan yang pesat, masyarakat desa lain juga mengikuti tradisi Trusmi,” tutur alumnus ITB yang juga pengurus Yayasan Batik Indonesia (YBI).
Keberadaan tarekat menjadikan batik cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat adalah laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik. Ini berbeda dengan daerah lain, membatik melulu pekerjaan wanita.
Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di Trusmi pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.
Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada motif megamendung, mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter. (Agung Nugroho/”PR”)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar