Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 10 Desember 2012

DeathSquad

*The role of computer *input, processing and output application (the information processing cycle) *input devices *out put devices *System unit *storage devices *System software *Application software *Modem *Communication *Telephone-line basic for modem *The Internet and web browser *Overview of career opportunities *Categories of Computers *Starting and ending a computer session *Shutting down *Viewing computer display system *Types of printers *Operating system concepts *Servers, workstation and hosts *WAN, LAN, MAN *Learning about top office application *Ribbon and things *The office button *Spell Checking *Quick start in creating tables *Table layout and design *Manipulation *Understanding work ethics *The Codes of conduct *Copyright infringement *The communication process *Computer ethics

Jumat, 04 Maret 2011

MULUDAN (MAULID NABI MUHAMMAD S.A.W) di Cirebon, JAWA BARAT - INDONESIA




Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.
Sperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.
Suasana acara Panjang Djimat seolah-olah melambangkan kehamilan dan kelahiran yang di ekspresikan dengan simbol-simbol. Kelahiran dari Rasulullah Muhammas saw. Prosesi Panjang Djimat diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung pada tepat pukul Sembilan malam dan kemabli pukul sebelas ke Bangsal Agung Panembahan. Di Langgar Agung sebelum kembali ke Bangsal Agung diadakan acara Aysraqalan yang di pimpin oleh Penghulu Keraton. Sega Rasul (Panjang Rasul) kemudian akan di bagikan kepada yang hadir disitu dan biasanya orang-orang akan berebutan untuk mengambil bagian walaupun hanya sedikit, yang mereka yakin mengandung Barakah. Persiapan semua prosesi dimulai dari hari ke limabelas bulan Sura dengan membersihkan beberapa bagian Keraton dan pusaka-pusaka yang di lakukan oleh para abdi dalem (orang-orang yang mengabdi ke keratin tanpa di bayar).
Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat.
Iring-iringan itu sendiri pada dasarnya melambangkan moment kelahiran Nabi Muhammad saw. Dianataranya ada 19 bagian penting dalam iring-iringan tersebut. Satu bagian diikuti oleh bagian lainnya dan masing-masing bagian ada seorang yang membawa lilin-lilin. Pertama seorang pria yang membawa sebatang lilin di tangannya yang berperan sebagai pelayan (Khadam) berjalan memberikan cahaya ke bagian kedua diikuti dua orang pria. Salah seorang pria membawa sesuatu yang menggambarkan sosok Abu Thalib (paman Rasul) dan pria kedua menggambarkan Abdul Al0Muthalib (kakek Rasul). Mereka berjalan di malam hari untuk di berikan ke midwife. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yangh terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.
Selanjutnya inti dari Panjang Djimat tersbut terdiri dari dua belas acara yang melambangkan 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud yang merupakan hari kelahiran Rasulullah yang misinya membawa Kalimat Syahadat. Masing-masing piring dibawa oelh dua orang yang di iringi dua orang pengawal, semua yang membawa piring-piring tersebut di biasa dipanggil Kaum Masjid Agung, Panjang Djimat adalah tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah. Kembali ke prosesi ada dua orang pria yang membawa sejenis termos yang berisi bir untuk mengumpulkan darah setelah melahirkan, diikuti dua orang pria yang masing-masing membawa nampan dengan botol yang berisi jenis bir yang lain yang melambangkan kotoran saat melahirkan. Sebuah pendil yang berisi Sega Wuduk (nasi uduk) di bawa oleh seorang pria yang melambangkan betapa susahnya saaat melahirkan. Selanjtnya diikuti dengan Nasi Tumpeng dengan bekakak ayam yang di sebut dengan Sega Jeneng yang melambangkan Syukuran (Selametan) lahirnya seorang bayi. Selametan pada saat di berikan nya nama untuk seorang bayi yang biasanya pada saat ari-ari sang bayi mongering dan lepas (Puput). Tiga bagian terakhir pertama adalah delapan Cepon (wadah yang terbuat dari bambu) yang melambangkan delapan sifat Rasul. Empat sifat pertama adalah Sidiq (Cerdas), Amanah (Dipercaya), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah(pintar), kempat sifat ini disebut sifat Wajib yang dimiliki Rasul. Dan keempat lainnya adalah sifat yang tidak dimiliki oleh Rasul yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah. Masing-masing Cepon penuh dengan beras yang menandakan Kemakmuran dan Yang Maha Kuasa memberikan naungan keseluruh alam (Rahmatan lil-'Alamin). Selanjutnya diikuti empat buah Meron atau Tenong (wadah besar bebentuk bundar) menandakan manusia terdiri dari empat elemen, Tanah, Air, Udara dan Api. Ada sumber yang mengatakan bahwa keempatnya adalah empat sahabat kalifah Abu Bakr, Umar, Ustman dan Ali. Selanjutnya diakhiri dengan empat Dongdang (wadah besar) yang melambangkan spiritual manusia yang terdiri dari Ruh, Kalam, Nur dan Syuhud yang nenandakan Keagungan Tuhan. Ada juga yang mengatakan keempat-empatnya adalah melambangkan empat Madzhab: Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.
Beberapa daerah juga merayakan acara Muludan ini dengan prosesi yang berbeda, akan tetapi biasanya acara membersihkan pusaka yang disaksikan oleh khalayak ramai seperti di Astana Gunung Djati pada tanggal 11, di Desa Panguragan pada tanggal 12, di desa Tuk pada tanggal 17 dan desa Trusmi pada tanggal 25 di bulan Maulud ini.

Sumber : kapanlagi.com

BALAI KOTA CIREBON, JAWA BARAT - INDONESIA




 SIAPA tak kenal Balai Kota Cirebon? Bangunan megah sekaligus unik ini juga cukup memberikan gambaran bentuk art deco yangmemiliki pengaruh yang sangat kuat pada masa itu. Dirancang untuk tempat berkantornya wali kota pada masa Hindia Belanda. Satu-satunya arsitektur unik yang ada di dunia. Jescoot merancang arsitektur balai kota dari inspirasi seekor kura-kura yang tengah merayap pelan di atas pasir. Jika dilihat dari atas, akan kentara bentuk kura-kura tersebut. Pada bagian depan, misalnya, merupakan kepala yang menonjol, sedangkan pada bagian belakang (ruangan wali kota) terdapat bagian yang menonjol ke belakang.jnirip ekor. Pada bagian kanan dan kiri dalam bentuk bangunan yang sama- merupakan tangan dan kakinya.
Ada yang menarik dari filosofi kura-kura ini, terutama bagi masyarakat lokal yang menganggap kura-kura sebagai kemantapan dalam hidup dan simbol kesabaran, biar lambat asal selamat. Selain itu, kura-kura merupakan hewan yang tahan banting meski tak diberi makan berhari-hari. Pada bagian sudut atas balai kota terdapat relief udang yang nemplok dengan cat kuning keemasan. Cirebon sebagai penghasil udang memang sangat ternama pada masa itu. Catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat menyatakan, gedung tersebut semula berfungsi sebagai raadhuis (dewan perwakilan kota) atau semacam DPRD saat ini. Konon, sering pula dijadikan tempat sewaan untuk pernikahan kalangan menengah Eropa.
Sejak masa pendudukan Jepang hingga sekarang, gedung tersebut dijadikan sebagai tempat berkantornya wali kota. Sebagian besar gedung masih dalam bentuk aslinya. Dibangun dua lantai dan pada bagian atas terdapat sirene yang mengeluarkan suara keras untuk penandaan keadaan tertentu, seperti bahaya udara dan saat buka puasa. Di bawah lantai dasar, terdapat kolam yang dijadikan sebagai alat penyejuk dan sirkulasi udara. Tengok pula pada bagian atap balai kota, terdapat langit-langit gem-bung yang mirip batok kura-kura. Di lantai dua yang semula dijadikan tempat bersidang Dewan Perwakilan Kota Hindia Belanda masih tampak asli. Lantainya sebagian terbuat dari kaca tebal dan ukiran kaca tahun 1920-an.
Pada masa itu, juga dianggap sebagai kejayaan dekorasi rumah dalam bentuk kaca berukir.Sejak masa kepemimpinan Wali Kota Tatang Suwardi, balai kota diperluas seiring dengan kebutuhan perkantoran saat itu. Demikian pula jalanan kota yang semula sempit diperlebar sehingga tampak seperti saat ini. Pada dinding bagian depan terdapat prasasti yang menyatakan bahwa Kotapradja Tjirebon bebas buta huruf tahun 1962.
Arsitektur kolonial Model arsitektur Gedung NBBra (gedung karesidenan) bisa dilihat di berbagai daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Terutama di Jakarta dan Semarang banyak terdapat bangunan model arsitektur semacam itu? Rupanya merupakan ciri khas dari kantor pemerintahan Hindia Belanda masa lalu, walaupun ada beberapa gedung yang jauh berbeda arsitekturnya, seperti Gedung Balai Kota Cirebon.Di sebelah kanan gedung terdapat pos penjagaan pengamanan yang terbangun dengan model semacam pintu lengkung sebagai tempat petugas berjaga siang dan malam. Kini, bangunan tersebut masih ada dan tidak lagi digunakan sebagai pos penjagaan. Sebagian besar bangunan ini masih asli, hanya terdapat beberapa bagian yang dipugar dan pada dinding dilapisi tripleks.
Dibangun pada sekitar tahun 1865 saat Residen Cheribon dijabat Albert WilhelnTKinder de Ca-murecq yang merupakan residen keempat. Pada waktu itu, gedung tersebut berfungsi sebagai rumah dinas residen, sedangkan kantor residen berada di Jln. Yos Sudarso (depan Bank Indonesia) yang dibangun pada 1841. Menurut data Disbudpar Kota Cirebon (2006), pembangunan gedung kantor dan rumah dinas ini merupakan dampak kebakaran Benteng De Beschertmingh (terdapat sekitar pesisir dan Jln. Benteng-sekarang). Benteng De Beschermingh didirikan Belanda sekitar tahun 1686. Benteng tersebut bukan hanya dijadikan pusat kekuasaan politik dan militer, melainkan juga pusat ekonomi untuk mengumpulkan komoditas serta kegiatan perdagangan ekspor-impor.
Gedung karesidenan dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Van den Berg dengan model arsitektur Istana Merdeka Jakarta. Gedung itu dibangun menghadap ke timur di atas tanah sekitar 27.315 m2 dengan luas bangunan 2.120 m2.Gedung ini sangat dikenal masya-rakat Cirebon, di samping arsitekturnya yang indah dan kokoh, juga menyimpan kisah-kisah heroik para pejuang kemerdekaan sejak tahun 1808. Kisah-kisah yang ditulis komikus Djair asal Desa Jamblang memberikan indikasi bahwa gedung ini sering didatangi “pemberontak” dan mengacaukan para pejabat negara yang saat itu sedang berpesta pora.
Catatan yang ditulis Drs. H. Udin Koswara, M.M. (mantan Residen Cirebon awal 2000-an) dalam bukunya Sejarah Pemerintahan Keresidenan Cirebon (2000), Gubernur Jenderal H.W. Daendels pada tahun 1808 membentuk institusi pemerintahan dengan para pejabatnya yang disebut prefect (istilah dalam bahasa Prancis). Kebanyakan orang Belanda tidak menyukai penggunaan istilah tersebut, maka sebutan prefect diganti dengan sebutan landdrots (istilah Belanda), yang kemudian jabatan tersebut diganti dengan sebutan resident.Di samping menyimpan kisah heroik, gedung itu juga menyimpan sifat-sifat rasisme dari kalangan Belanda dan bangsa Eropa. Konon, menurut kisah masyarakat setempat, penduduk pribumi dari kalangan bawah yang akan memasuki gedung ini harus berjalan”jongkok dari pintu gerbang sampai bangunan induk. Selain itu, gedung ini sering kali dimanfaatkan untuk pesta I.ni tlmiN.i kalangan kulit putih. (Ntfrtrtn M. Noer, wartmtxm senior, Ketua Umum Lembaga Basa lan Sastra Cerbon/LBSO*”

Sumber : Koran Harian Radar Cirebon

TRADISI UPACARA SEDEKAH BUMI CIREBON, JAWA BARAT - INDONESIA




Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal dengan udang dan petisnya, bermata pencaharian utama bertani dan melaut sejak zaman dulu sudah berkembang. Dalam usaha bertani dan melaut pada zaman sebelum Islam, mereka terikat keparcayaan agama nenek moyang. Pada masa itu masyarakat percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa laut, dan sebagainya. Mereka menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.
Ketika Islam masuk, tradisi itu sangat mendapatkan perhatian. Kepercayaan akan dewa-dewa digantikan dengan iman kepada Tuhan. Menurut Islam, hanya Allah yang patut disembah. Sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali caranya, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482–1568 M), tempatnya di Puser Bumi.
Puser Bumi adalah sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Sanga. Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel wafat pada 1478 M, dipindahkan dari Ampel (Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di Gunung Sembung—sekarang disebut Astana Gunung Jati.
De nika susuhan jati, hana ta sira maka purohitaning sakwehnya Dang Accaryagameslam rat jawa kulwam, mwang para wali ing jawa dwipa, muwah ta sira susuhan jati rajarsi. Susuhan jati adalah pimpinan para guru agama islam di Jawa Barat dan pimpinan para wali di Pulau Jawa, beliau adalah raja resi (PNK oleh P. Wangsakerta 1677 M sarga IV halaman 2). Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke 4 (bulan oktober) setiap tahunnya.
Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih kuat melaksanakan tradisi ini adalah Desa Astana Gunung Jati yang termasuk kedalam kecamatan Gunung Jati sekarang. Sebagai pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksana adat juga didukung oleh para pemuka masyarakat dan tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan Keraton Cirebon, mereka disebut Prenata. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka adat lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi.
Maka sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu, disebarkanlah secara getok tular kepada seluruh penduduk bahwa akan diadakan Sedekah Bumi, melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan “Gelondong Pengareng-areng”. Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah seperti buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis.
Kaitannya dengan upacara Sedekah Bumi
Pelaksanaan yang merupakan tradisi masyarakat Cirebon ini sebenarnya merupakan Larungan dan Nadran yang kemudian disebut sedekah Bumi sangatlah begitu sakral dan memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tersembunyi disela-sela acara ritual pelaksanaan pesta rakyat, sekaligus pembuktian adanya ajaran islam yang mengilhami pelaksanaanya. Termasuk dalam pakaian yang digunakannya, kuwu (kepala desa) menggunakan Iket (blangkon), baju takwa lurik dasar kuning, kain panjang, sumping kembang melati, memegang Teken (Tongkat paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang, sumping melati, gulung kiyong, selendang jawana.
Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di Alun-alun Gunung Sembung, misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca. Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat mengalahkan mereka, bahwa para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama menyentuh bumi. Maka semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa, dan menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menenyentuh bumi. Prabu Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya terbunuh oleh Gatotkaca , diatas Anjang-anjang yang telah dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura. Habislah para putra Manik Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi penyebab datangnya musim penghujan.
Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat untuk menyambut datangnya musim penghujan.
Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas biasa sekarang Sedekah Bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula. Namun, paling tidak tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato tata masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambahkan konservasi dari pada perubahan.
Tradisi membentuk kehidupan yang ideal
Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan Budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena, salah satu upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum, mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan ditandai munculnya budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan (Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan terbengakalainya pengembanagan kebudayaan bisa berakibat terjadinya kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa memiliki bahwa Cirebon sebagai pusat peradaban sejarah dan budaya Islam ditanah jawa.
Pengenalan terhadap beberapa situs dan benda cagar budaya dikalangan pemuda juga sangat memperihatinkan, padahal Cirebon sangat kaya sekali akan situs dan kebudayaannya seperti, situs keraton, situs makam Sunan Gunung Jati dan beberapa situs yang menjadi petunjuk akan perkembangan Islam di tatar Jawa. Apalagi Cirebon sebagai kota budaya dan pariwisata diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dan budaya khas Cirebon baik yang melekat pada masyarakat Cirebon, untuk dikemas menjadi komoditi pariwisata dalam skala regional, nasional maupun internasional. Selain itu juga Cirebon sebagai kota industri, yang berlatar belakang sejarah budaya dan tradisi diharapkan akan berkembang menjadi industri kecil padat kaya (kerajinan, tradisional) yang berorientasi ekspor, sehingga berkembang industri pariwisata sebagai pendukung kota budaya dan pariwisata.
Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat yang masih menghormati tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya seperti kata ini Ketahuilah, bahwa yang terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari sejarah”. Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Bahkan, seorang Cicero begitu menghargai sejarah dengan menyebutnya sebagai “Historia Vitae Magistra” (Sejarah adalah Guru Kehidupan), sedangkan Castro berteriak dengan lantang di pengadilan: “Historia Me Absolvera !!!” (Sejarah yang akan Membebaskanku!!!). Haruskah kita menyingkirkan sejarah?, bored with history?, hated social scientific history?….
Penulis adalah Pegiat Lingkar Studi Sastra (LSS) Cirebon

Sumber : www.detik.com

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN KAPETAKAN


Sebelum menjadi Desa Pegagan, wilayah ini dahulu kala terdiri dari hutan-hutan dan banyak rawa-rawanya. Karena hutan tersebut dipisahkan olah rawa-rawa dan sungai, maka Sunan Gunung Jati memberi nama wilayah itu Pulau Raja. Kemudian setelah hutan-hutan dibabad dan dibakar maka jadilah hamparan pesawahan yang sangat luas. Oleh penduduk tanah tersebut dijadikan lahan pertanian, disebut Pegagan. Maka bermukim di padukuan, sekarang Desa Dukuh. Melihat kesuburan tanah di Pegagan dan luasnya lahan yang tersedia, maka banyaklah penduduk yang berdatangan untuk ikut menggarap sawah dan ladang. Lambat laun karena banyak yang bermukim di Pegagan tersebut, maka jadilah perkampungan yang disebut kampung Pegagan, asal kata dari Pegagaan.
Untuk memimpin perkampungan yang disebut kampung tersebut, Sunan Gunung Jati menetapkan murid Mbah Kuwu Cirebon bernama Syekh Mukhamad yang berasal dari Syam dan terkenal dengan sebutan Syekh Mengger (Monggor).
Namun Ki Mengger tidak lama menjadi gegeden daerah tersebut karena ia diminta pulang oleh orang tuanya untuk menajadi pemimpin negeri Syam. Sebagai penggantinya Sunan Gunung Jati menunjuk Patih unggulannya yang bernama Ki Banjaran dengan gelar Ki Cangak Putih. Ia dibantu putrinya yang bernama Nyi Mas Ayu Kendini yang berwajah cantik, beliau rajin membantu orang tuanya dalam mengolah sawah dan juga ikut meluaskan wilayah dengan membakar hutan sehingga wilayah itu semakin luas.
Disamping itu ia juga trampil mengatur tata praja, maka tidak menghereankan apabila peran Nyi Mas Ayu Kendini semakin terkenal. Saking kagumnya penduduk terhadap Nyi Mas Ayu Kendini atas kepandaian dan kecantikannya, maka dijuluki Bidadari Dwei Nawang Wulan. Pemandian Dewi Nawang Wulan sampai sekarang masih ada di komplek makam benjaran namanya Balong Widadaren.
Wilayah kampung Pegagan sangat luas dan memanjang ke barat sampai ke wilayah Panguragan (Blok Gempol Murub), bahkan ada wilayah Pegagan yang berada di daerah simbal Cantilan Jagapura yang luasnya kurang lebih 5 hektar. Hal ini di sebabkan pembakaran hutan yang dilakukan oleh Nyi Mas Ayu Kendini yang apinya meletuk terbawa angin dan jatuh di Daerah Simbal. Sekarang Wilayah tersebut sudah resmi masuk di Wilayah Jagapura melalui musyawara antara Kuwu Pegagan dan Kuwu Jagapura.
Dengan Pimpinan Ki Ageng Putih dan Putrinya, kampung pegagan bertambah maju, tertib dan teratur, penduduknya subur makmur tidak kurang sandang pangan.
Perkampungan Pegagan mampunyai Cantilan :
1. Cantilan Dukuh
2. Cantilan Kroya
Nyi Mas Ayu Kendini terkenal bukan karena pandai mengatur tata praja dan keterampilan serta peretanian saja, tetapi juga karena kecantikannya. Sehingga banyak pemuda yang tergila-gila pada putri Sekar Kedaton Pegagan. Diantaranya yang pertama-tama datang melamar ialah Rambit, lamaran itu langsung diterima oleh Ki Benjara tanpa berunding dengan putrinya. Padahal putrinya tidak mencintainya. Saat pernikahan akan dilangsungkan, Ki Benjara serta orang-orang Pegagan sangat kaget, karena putri Sekar Kedaton ada yang menculiknya. Tentu saja R.Ambit sangat murka dan tanpa banyak tutur lagi segera lari mengejarnya.
R.Sambarasa murid Ki Ageng Jopak atau Ki Gede Kaliwedi yang baru menyelesaikan tapanya dialas jatianom, ditengah alas itu ia melihat R. Sembaga yang sedang menggendong. Nyi Mas Ayu Kendini dalam keadaan pingsan. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan pada diri R. Sambarasa. Ia meminta kepada R. Sembaga untuk menurunkan putri itu dari gendongannya, tetapi R.Sembaga untuk menolaknya, terjadilah perang tanding yang sangat seru, masing-masing mengeluarkan ilmunya. Tetapi lama kelamaan R.Sembaga merasa terdesak dan lari meninggalkan musuhnya. Kemudian R.Sambarasa menyembuhkan Nyi Mas Ayu Kendini dari pingsannya, dan diajaklah pulang ke orang tuanya di Pegagan, tetapi Nyi Mas Ayu Kendini menolaknya dan mengajak R.Sambarasa untuk pergi jauh dan menika disana. Mendengar pernyataan Nyi Mas Ayu Kendini yang tulus maka R.Sambarasa berdiam diri tidak sampai hati menolaknya. Namun pembicaraan itu terputus karena kehadiran R. Ambit yang langsung menyerangnya duduk masalahnya, tetapi R. Ambit tetap tidak percaya, hingga terjadilah perang tanding yang sangat seru, yang kedua-duanya mengeluarkan ilmu andalannya. Tetapi lama kelamaan R. Sambarasa dapat dirobohkan oleh R. Ambit dan ditendangnya ke dasar jurang. Setelah siuman R. Sambarasa menemui gurunya Ki Gede Kaliwedi.
Kembalinya Nyi Mas Ayu Kendini ke Pegagan disambut gembira oleh rakyat Pegagan, lebih lebih orang tuanya Ki Benjara.
Untuk tidak membuang waktu segera Ki Benjara melangsungkan pernikahan dengan R.Ambit. Tetapi lagi lagi mengalami kegagalan karena kehadiran Ki Ageng Jopak yang datang menuntut balas atas kekalahan R.Sambarasa muridnya, apalagi posisi muridnya adalah benar, maka tanpa banyak bicara lagi langsung Ki Ageng Jopak menyerang R.Ambit. Untunglah bon memisahkannya dalam garis penuturan bukan jodohnya tetapi jodoh R.sambarasa.
Di Keraton Kedaton, Sinuhun Gunung Jati kedatangan tamu dari tanah seberang yang maksudnya mau menjemput Ki Benjara bersama keluarganya untuk dinobatkan menjadi raja di negerinya. Mendapat permintaan itu, Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu tidak bisa menolaknya. Selanjutnya Ki Benjara bersama dengan Nyi Mas Ayu Kendini dan suaminya R.Sambarasa berpamitan kepada Sunan Gunung Jati serta Mbah Kuwu Ki Cakrabuana untuk meninggalkan Pendukuhan Pegagan. Adapun untuk gegedennya Pedukuhan Pegagan diserahkan pada Syekh Magelung Sakti yang ada di Pedukuhan Karang Kendal.
Memasuki Abad 17 tepatnya tahun 1628 tentara mataram dibawah pimpinan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. Serangan ini gagal, karena kekurangan makanan dan serangan penyakit malaria. Memang saat itu transportasi tidak mudah seperti sekarang, maka kegagalan ini oleh pimpinan tentara Mataram di jadikan pengalaman untuk serangan berikutnya.
Seluruh pasukan diperintahkan untuk melucuti senjatahnya dan di kumpulkan lalu di kubur berjajar dua, makanya dari Cirebon sampai Indramayu terutama Kapetakan dan Cirebon Utara hamper di setiap desa di pinggir jalan raya ada makam berjajar dua, hal ini dilakukan sesmata-mata untuk mengelabui Belanda.
Pada suatu saat kampung Pegagan dan Karang Kendal disinggahi tentara Mataram yang membaur dengan penduduk dan banyak pula yang melakukan paerkawinan dengan penduduk setempat. Mereka memilih tempat di tengah yaitu di Desa Dukuh, karena tempatnya agak sepi jauh dari jalan raya tetapi mudah menghubunginya manakala ada berita perjuangan. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Antrawulan yang menetap di Dukuh.
Memasuki abad 18 tepatnya tahun 1808, Gubernur Jenderal Belanda Deanless merombak susunan tata praja, khususnya di tanah jawa, yaitu :
1. Raja-raja akan digaji oleh Belanda dan tidak boleh mengambil Pajak kepada masyarakat.
2. Pergantian Sultan khususnya di Cirebon dicampuri oleh Belanda.
3. Adipati yang menguasai Kadipaten diganti dengan Bupati yang menguasai Kabupaten serta dapat gaji dari Belanda.
4. Ki Gede / Ki Ageng diubah menjadi Kuwu dan medapat bengkok.
Peninggalan sesepuh Pegagan yang perlu dilestarikan adalah:
1. Ki Jati bereupa kayu jati yang telah memfosil, terletak di depan Balai desa Pegagan Kidul, yang memiliki makna hati-nati dalam mengendalikan pemerintahan.
2. Makam Tumpeng, asalnya dari buah tumpeng yang dikubur berada di sebelah utara Balai Desa Pegagan Kidul, memiliki makna dalam mengendalikan pemerintahan Desa harus lempeng dan jujur.
3. Balong Dalem, memiliki makna hendaknya berpikir yang dalam dan sabar ketika menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Balong Dalem ada di sebelah timur Balai Desa Pegagan Kidul.
4. Buyut Semut ada di sebelah timur Balong Dalem yang memiliki makna harus emut, eling kepada yang Maha Kuasa jangan sampai bertindak angkara murka.
Pada saat Cirebon membara sekitar tahun 1816 – 1818 yang dikenal Perang Kedodongdong, yaitu perlawanan masyarakat Cirebon terhadap penjajahn Belanda dibawah pimpinan Begus serit. Hampir seluruh kuwu yang berada di wilayah Cirebon membantu perjuangan tersebut, baik yang terang-terangan maupun yang dibawah tanah, khususnya kuwu dan masyarakat perjuangan itu, diantaranya adalah tokoh-tokoh Ki Belang, Ki Laisa, Ki Salam dan Ki Lamus (Ki Tika).
Alat yang digunakan semasa perjuangannya, yang sekarang berupa benda pusaka dan masih tersimpan oleh anak cucunya, diantaranya adalah tombok, arti yang biasa berjalan sendiri, bendera waring dan baju antakesuma.
Desa Pegagan mengalami pemekaran pada tahun 1981, menjadi Desa Pegagan Kidul dan Desa Pegagan Lor.
Adapun nama-nama Kepala Desa yang diketahui adalah Desa Pegagan Kidul, sejak tahun 1908 :
1. Ki Narpijan
2. Ki Baijan
3. Ki Laisa
4. Ki Sam
5. Ki Kasem
6. Ki Resmi
7. Ki Salam
8. Ki Kemisat
9. Ki Samad
10. Ki Silem
11. Ki Nerfan
12. Ki Akim
13. Ki Wasiem
14. Ki Sesmpit
15. Sarbinga
16. Ki Ketimpen
17. Ki Dir
18. Ki Kireja
19. Ki Kasti
20. Ki Lampar/Kiwarasesntika
21. Ki Ketimpen
22. Ki Jiyem
23. Ki Suwada
24. Ki Madrais
25. Ki Wangen
26. Ki Muna
27. Ki Lebon
28. Ki Dasnia
29. Ki Padmanegara
30. Ki Darisem
31. Ki Senjani / H.Bakri
32. Ki Darmi
33. Ki Tuba
34. Ki Kamsia
35. Ki Wardeni
36. Ki Arja
37. Ki.H Ali
38. Ki Wangsa
39. Ki Bulyamin
40. Ki Abdulah Sajan
41. Ki Sabil Supeno : – 1969
42. Ki H. Kasanah : 1969 – 1981
43. Ki H. Maksudi (Pjs) : 1981 – 1985
44. Ki H. Dasita : 1985 – 1995
45. Ki Wadira : 1995 – 2003
46. Ki Rusli : 2003 – sekarang.
Desa Pegagan Lor :
1. Ki Dalisa (Pjs) : 1981
2. Ki Dalisa : 1981 – 1993
3. Ki Rokhmat : 1993 – 2003
4. Ki Dedi Asmadi : 2003 – sekarang.

Sumber : www.radarcirebon.com

WAYANG CEPAK CIREBON, JAWA BARAT - INDONESIA





Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled, Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi daerah Kapetakan dan Arjawinangun.
Wayang ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon.
Pertunjukan wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya terbatas pada upacara adat seperti Ngunjung Buyut (nadran, ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan (ngaruwat = melakukan ritus inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat ini biasanya berupa: wunggal (anak tunggal), nanggung bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi (empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga tanggal kausak (seorang putra diapit dua orang putri), dan lain sebagainya.
Dalam pertunjukannya di masyarakat, wayang cepak Cirebon memiliki struktur yang baku. Adapun susunan adegan wayang cepak Cirebon secara umum sebagai berikut :
(1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer / kawit, murwa, nyandra, suluk / kakawen dan biantara;
(2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan;
(3) Nagara sejen;
(4) Patepah;
(5) Perang gagal;
(6) Panakawan / Goro-goro;
(7) Perang kembang;
(8) Perang Raket;
(9) Tutug.
Waditra yang mengiringi wayang cepak pada awalnya berlaras pelog, tetapi karena untuk menyesuaikan situasi dan kondisi, waditra yang dipakai diberi berlaras salendro. Waditra ini meliputi gambang, gender, suling, saron I, saron II, bonang, kendang, jenglong, dan ketuk. Sementara beberapa lagu yang mengiringi pertunjukan wayang cepak, di antaranya Bayeman, Gonjing, Lompong Kali, Gagalan, Kiser Kedongdong dan lain-lain.

Sumber : http://www.facebook.com/notes/wayang-indonesia/wayang-cepak-cirebon/177553982501

ASAL MULA TARI TOPENG - CIREBON, JAWA BARAT - INDONESIA



Menulis tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa Islam di daerah pesisir ini.

Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai Pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka diputuskan bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya memakai kedok/topeng.

Mulailah team kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut ngamen. dalam waktu singkat team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran Walang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang menyaksikan sendiri kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas Gandasari pun berpura – pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar maka Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka hilang semua kesaktian Pangeran Walang.

Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Walang menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam Pangeran Walang dijadikan petugas pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Walang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton – keraton Cirebon dan sekitarnya.

( Cerita ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan Cirebon ).

Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal serangan dari kekuatan – kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk meruat suati daerah yang dianggap angker. Dan kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan di desa – desa untuk upacara ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain – lainnya.

Setelah masyarakat menerima tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang kulit juga harus menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari – penari topeng di Cirebon. Namun yang mula – mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para dalang wayang kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang harus menari topeng terlebih dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan untuk mendalami tari topeng terlebih dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam hubungannya pihak keraton selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam penyebaran agama Islam, dan pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman yang juga berdakwah.

Kesenian tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang biasa disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma’ripat.